Minggu, 30 Juni 2013

Analisis Puisi "Slopeng Basah" karya Urip Sukamto


BAB I
PENDAHULUAN

            Puisi merupakan suatu bentuk karya sastra yang memuat berbagai fenomena-fenomena kehidupan yang terpendam dan perlu diungkap serta dipahami. Dengan demikian maka pesan atau manfaat yang terkandung didalamnya akan ditangkap dan dirasakan oleh pembaca, sehingga puisi akan bermakna dan dapat dijadikan sebagai bahan refleksi diri atau media pembelajaran.
            Untuk dapat memahami dan menyelami maknanya atau bahkan mengkritik karya sastra puisi tentu tidak mudah, perlu adanya suatu teori dan metode-metode tertentu yang nantinya akan dijadikan “pisau bedah” dalam menginterpretasi sebuah puisi. Teori yang digunakan haruslah sesuai dengan sudut pandang dan hal-hal tertentu yang ingin diungkap oleh kritikus dari sebuah puisi, sehingga apa yang ingin diungkap dapat diperoleh dengan baik.
A.    Teori kritik
            Struktural Semiotik adalah salah satu metode kritik dimana dalam penerapannya yaitu mengkaji tentang struktur karya sastra berupa unsur intrinsik karya serta kaitannya dengan sistem lambang atau simbol yang dikenal dengan semiotik yang terdapat dalam karya sastra puisi.
            Semiotik adalah ilmu tanda dan istilah ini berasal dari kata Yunani yang berarti tanda. (Panuti Sudjiman & Aart van Zoest, 1992). Secara umum semiotik ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem- sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kritik sastra, penelitian semiotik mempunyai analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi-konvensi tambahan dan memiliki ciri-ciri yang menyebabkan bermacam-macam cara. (Preminger, dalam Pradopo, 119). Semiotika modern mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913).
B.     Deskripsi Teori
            Metode struktural adalah salah satu dari banyak metode yang digunakan penulis dalam menginterpretasi puisi yang berjudul “Slopeng Basah”  yang ditulis oleh Urip Sukamto, M. Pd.
            Dalam pandangan semiotik, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan tidak hanya menyaran pada sistem makna tingkat pertama, melainkan terlebih pada sistem makna tingkat kedua. (culler, 1977: 114) Bahasa berkedudukan sebagai bahan dalam hubungannya dengan sastra, sudah mempunyai sistem dan konversi sendiri, maka disebut sistem semiotik tingkat pertama. Sastra mempunyai sistem dan konversi sendiri yang mempergunakan bahasa, disebut sistem semiotik tingkat kedua.
            Ilmu semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan itu merupakan tanda- tanda. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan bahasa. Bahasa sebagai karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti 
            Tanda mempunyai dua aspek: Penanda dan Petanda. Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu. Sedangkan Petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan. Dalam hubungannya antara penanda dan petanda ada beberapa jenis tanda yaitu ikon, indeks, dan symbol.
·         Ikon adalah tanda yang paling mudah dipahami karena kemiripannya dengan sesuatu yang diwakili(A.Chaer,2002:41).  Dengan kata lain yaitu suatu tanda yang acuan dengan hubungannya memiliki kemiripan. Contoh:
peta, sketsa, dan globe (ikon tipologis).
·         Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya sesuatu yang lain(A.Chaer,2002:41). Indeks adalah tanda yang dengan acuanya memiliki kedekatan eksistensi.
Contoh:
hari mendung menjadi tanda hujan. Gambaran suasana yang muram dalam pementasan wayang merupakan indeks tokoh sedang sedih.
·         Simbol adalah tanda yang hubungan dengan acuan terbentuk secara konvensional. Jadi sudah ada persetujuan antara pemakai tanda tentang hubungan tanda dengan acuannya.
Contoh:
rambu lalu lintas, dll..
            Dalam mengkomunikasikan informasi manusia menggunakan tanda dan simbol sebagai medianya. sistem tanda juga digunakan dalam banyak hal, seperti traffic light, simbol lalu lintas, penggunaan warna dalam berbagai keperluan serta sandi-sandi dalam suatu komunitas dan sebagainya. Begitu juga dengan sastra yang bisa dikatakan tidak terpisahkan dengan sistem tanda dan lambang. Sebab tanda sudah merupakan bagian terpenting dalam sastra yang digunakan untuk menyampaikan pesan ataupun gagasan pengarang terhadap pembaca.
            Karya sastra hususnya puisi menggunakan lambang bahasa sebagai medianya, hal itu erat hubungannya dengan hakikat dari sastra puisi yaitu pemadatan, sehingga gagasan yang panjang dituangkan melalui lambang bahasa berupa kata yang dianggap mampu mewakili pikiran pengarang.
             Dengan metode ini penulis berusaha mengkaji unsur intrinsik dari puisi berjudul “Slopeng Basah” serta mengungkap secara objektif pesan yang secara implisit tersimpan di dalam puisi berdasarkan lambang ataupun simbol bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam puisi tersebut.
           


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Analisis Struktur Puisi
1.      Analisis struktur fisik puisi “Slopeng Basah”
a.       Diksi
           Diksi merupakan pemilihan kata yang dilakukan penyair. Karna puisi merupakan system lambang maka tentunya tiap kata mewakili banyak makna, untuk itu kata yang digunakan harus cermat dan tepat sesuai dengan apa yang dilambangkan, Diksi juga dapat mencerminkan seberapa kreatif pengarang dalam menulis puisi, pemilihan diksi yang tepat akan menentukan tingkat kepaduan makna ataupun gagasan penyair sehingga peyampaian pesan akan betul-betul utuh. Pada judul  puisi “slopeng basah” sudah dapat kita lihat.
           “Slopeng” merupakan nama suatu tempat yaitu pantai, Kata (Slopeng) identik dengan air dan air identik dengan basah atau, sesuatu akan basah apabila terkena air. Dan Pantai (slopeng) penyebab terjadinya basah.
           Begitu juga dengan diksi yang dipakai dalam baris-baris berikutnya seperti pemilihan kata “Ombak, gemuruh, Melabuh, angin riuh” memiliki keterkaitan dengan kata “Slopeng” yang berarti pantai yang identik dengan itu semua.
b.      Citraan (Imaji)
           Citraan yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan, contohnya pada penggunaan kalimat “slopeng basah, ombak gemuruh, tak melabuh” memberikan citraan visual seolah-olah pembaca dapat merasakan pengalaman penyair dalam mendeskripsikan kondisi panatai sehingga dengan begitu imajinasi pembaca akan hidup mengikuti apa yang tertulis dalam puisi. Citraan perasaan juga dpat dirasakan dari kalimat “jatuh bersama mimpi, terjaga seketika, merasa seketika”. Yang menggambarkan suasana batin sang penyair.


c.       Gaya Bahasa.
           Gaya bahasa perupakan bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkankonotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). puisi  ini  menggunakan bahasa permajasan yakni kiasan-kiasan metafora, yang mana penyair merusaha mengungkapkan suasana batin dengan lambang bahasa yang memiliki kemiripan eksistensi seperti halnya “mendingin tubuh” melambangkan kegelisahan yang dialami penyair, kemudian “Ombak Gemuruh” melambangkan gejolak perasaan penyair yaitu bercampur baurnya berbagai perasaan di dalam jiwanya. “Serindu tak melabuh” mengiaskan perasaan yang sama-sama dimiliki namun tak dapat disatukan karna terpisah jarak tempat dan jarak waktu. “angin riuh” melambangkan puncak kegalauan batin yang terombang ambing oleh kenangan yang tiba-tiba hadir menyerang pikirannya.

2.      Analisis struktur batin puisi “Slopeng Basah”
a.       Tema
           Tema megupakan gagasan utama yang terdapat dalam puisi yang biasanya menjadi focus pembahasan. Berdasarkan analisis dapat di simpulkan bahwa puisi ini bertema tentang suatu kenangan masa lalu yang kemudian hadir dalam pikiran dan jiwa pengarang mengusik batinnya dan menimbulkan perasaan-perasaan batin  dan kemudia membuat panyair tersadar akan sesuatu, yakni perasaan cinta nya terhadap seorang wanita yang hadir menghiasi kenangan masa lalunya.
b.      Rasa (feeling)
           Rasa merupakan suasana penyair yang tertuang dalam puisi dalam hal ini berupa perasaan gelisah, rindu, dan kegalauan batin.
c.       Amanat
           Adapun amanat yang disampaikan penyair yaitu bahwa segala kenangan masa lalu tentang perasaan cinta terhadap seseorang bisa saja muncul dan tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu akan menimbulkan perasaan gelisah, kalut rindu dan sebagainya. Secara tegas dapat ikatakan bahwa kenangan tak kan pernah bisa hilang dari diri seseorang.

B.     Interpretasi Berdasarkan Metode Semiotik
 (Judul)                        “Slopeng Basah”
            “Slopeng” merupakan nama suatu tempat yaitu pantai Slopeng yang letak geografisnya di daerah Sumenep. Pemilihan Slopeng sebagai judul sekaligus kata yang mengawali puisi memiliki peran penting. Kata Slopeng mempunyai pengaruh terhadap pemilihan kata setelahnya yaitu “Basah” Sebab pantai (Slopeng) identik dengan air dan air identik dengan basah atau, sesuatu akan basah apabila terkena air. Dan Pantai (slopeng) penyebab terjadinya basah.
            Kata “basah” berantonim dengan kata “kering”. Kata “basah” pada judul puisi merupakan lambang bahasa yang digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan sesuatu yang sifatnya baru (suatu yang sudah lama kembali terasa baru), sedangkan kata “kering” jika di korelasikan akan bermakna lama (sudah berlalu, sudah terlupa) .
            Dengan demikian dapat diartikan sesuatu peristiwa atau perasaan batin yang sudah berlalu/terlupakan yang kini hadir kembali/terkenang kembali/tersadar kembali/teringat kembali. Atau dengan bahasa semiotiknya “yang telah ‘kering’ kini ‘basah’ kembali.

(Baris 1)          “Slopeng mendingin tubuh”
            “Slopeng” dalam baris pertama menandakan bahwa pantai Slopeng merupakan penyebab penyair terkenang kembali peristiwa atau perasaan batin yang sudah lama berlalu terkenang/teringat kembali. Dilanjutkan dengan “Mendingin tubuh”. “mendingin” merupakan dampak dari basah yang identik dengan menggigil, sedangkan “tubuh” melambangkan diri penyair.
            Baris pertama secara keseluruhan dapat dipahami demikian. Peristiwa atau perasaan batin di masa lalu yang kini terkenang kembali memberikan efek terhadap diri penyair berupa kegelisahan yang begitu hebat yang di lambangkan dengan kata “mendingin”

(Baris 2)          Terkenang jauh
            Kata “terkenang” pada baris dua menjadi penguat dari interpretasi kata “basah” pada judul puisi yang dimaknai dengan sesuatu yang hadir kembali/terkenang kembali/tersadar kembali/teringat kembali. Dan kata “jauh” melambangkan jarak waktu yang sudah terlampau jauh antara peristiwa lempau (kenangan) dengan masa sekarang (yaitu saat puisi itu ditulis). Artinya sudah berlalu sangat lama.

(Baris 3)          Bulan kutinggal
            “Bulan” bisa dipastikan merupakan lambang dari seorang wanita yang berparas cantik atau wanita yang istimewa bagi penyair. Dilanjutkan dengan “kutinggal” maksudnya penyair pernah bersama tapi karna alasan tertentu penyair meninggalkannya. Bisa karna sengaja atau terpaksa karna tuntutan takdir dan sebagainya.

(Baris 4)          Ombak gemuruh
            Sifat ombak bergemuruh, bergelombang, bergelora dan bergejolak. Hal ini menggambarkan suasana batin yang dirasakan penyair berupa gemuruh dan gejolak dari berbagai macam perasaan yang timbul dihatinya antara senang kecewa, sedih, dan penyesalan. Perasaan itu hadir bersamaan dengan menyeruaknya kenangan masalalu yang tiba-tiba hadir menyerang jiwa dan raga sang penyair. Sehingga seolah-olah perasaan itu “(me)-mainkan gelisah rindu (nya)” yang penyair tuangkan dalam baris berikutnya.

(Baris 5)          Mainkan gelisah rindu
            Pada bagian ini dapat diinterpretasikan bahwa suasana tersebut seolah-olah mempermaikan perasaan dan emosi sehingga bercampur antara perasaan gelisah dalam gejolak kejiwaan penyair dengan perasaan rindu sebab bagi penyair dia adalah bulan yang disayangi dan istimewa bagi penyair.

(Baris 6)          Serindu tak melabuh
            Kata “serindu” melambangkan perasaan yang sama antara penyair dengan dia (Bulan), seperti perasaan kasih sayang yang sama-sama dimiliki oleh keduanya, perasaan rindu yang ditimbulkan oleh kasih sayang diantara mereka.
            “tak Melabuh” atrinya tidak singgah melambangkan bahwa meskipun memiliki perasaan yang sama namun keduanya tak lagi bersama dan bersatu.

(Baris 7)          Angin riuh
            “Angin riuh”  adalah jenis angin yang tidak bersahabat, angin yang sangat kencang yang dapat menghancurkan segala sesuatu yang dilewatinya. Hal ini  melambangkan kegalauan yang tiba-tiba menjadi-jadi seolah-olah menghancurkan jiwa sebab meskipun sang penyair memiliki perasaan sayang terhadap dia (Bulan), penyair tidak dapat bersama kembali seperti yang telah dijelaskan pada interpretasi baris 6.

(Baris 8)          Jatuh bersama mimpi
            Setelah terombang-ambing oleh kegalauan jiwa yang begitu dahsyat penyair seolah-olah terhempas jatuh seketika bersama impian yang tak mungkin dia dapatkan kembali, sebab waktu yang sudah berlalu tak mungkin dapat dia ulang kembali. Kata “jatuh” disini melambangkan ketidakberdayaan penyair setelah mengenang semuanya tentang masalalu beruapa cinta dan kasih sayangnya yang penyair miliki untuk sang “Rembulan”.

(Baris 9)          Terjaga seketika
(Baris 10)        Merasa eketika
            “terjaga” artinya tersadar dari keaadaan sebelumnya dan mulai merasakan keadaan yang sebenarnya. “merasa seketika” merupakan perlambangan dari kesadaran penyair terhadap perasaan jiwanya yang dahulu tidak beritu ia rasakan.
            Maksud dari baris 9 dan 10 yaitu Setelah beberapa saat penyair larut dalam kenangannya bergelut dengan gejolak jiwanya, tenggelam dalam kegalauan hatinya maka di saat itulah penyair mendapatkan kesadaran terhadap kenyataan yang saat ini dia jalani bahwa “Bulan” tidak lagi bersamanya dan tak dapat lagi bersamanya. Disaat itu juga dia merasakan bahwa dalam lubuk hatinya terdapat perasaan yang begitu kuat yang terangkat kepermukaan.

(Baris 11)        Slopeng menyadarkan cinta
            Dan perasaan yang begitu kuat itu ditegaskan dalam baris terahir, yaitu perasaan cinta. “Slopeng” merupakan sebab terkenangnya penyair terhadap peristiwa atau perasaan batin pada masa lampau yang membuat jiwanya terguncang dan bergejolak serta membuat hatinya gelisah. Sebab dalam lubuk hatinya dia menyimpan perasaan cinta yang berbuah kerinduan kepada seorang wanita yang dahulu sempat mengisi cerita hidupnya namun entah dengan alasan tertentu penyair meninggalkannya sehingga pada akhirnya menyisakan kenangan yang tak terlupakan.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil interpretasi dapat diperoleh dua kesimpulan yakni kesimpulan teori dan kesimpulan interpretasi yaitu:
1.      Kesimpulan Teori.
      Metode Struktural Semiotik merupakan metode kritik yang mengkaji tentang struktur puisi kaitannya dengan sistem lambang  yang digunakan dalam puisi untuk mewakili gagasan pengarang yang ingin disampaikan.
      Metode ini di anggap mampu dalam mengungkap makna tersembunyi dengan cara membedah lambang bahasa yang digunakan penyair dalam menyampaikan pesan.
2.      Kesimpulan interpratasi
      Dengan menggunakan metode Struktural Semiotik puisi “Slopeng Basah” dapat dimaknai peristiwa atau perasaan batin pada masa lampau yang membuat jiwa sang penyair terguncang dan bergejolak serta membuat hatinya gelisah. Sebab dalam lubuk hatinya dia menyimpan perasaan cinta yang berbuah kerinduan kepada seorang wanita yang dahulu sempat mengisi cerita hidupnya namun entah dengan alasan tertentu penyair meninggalkannya sehingga pada akhirnya menyisakan kenangan yang tak terlupakan.
      Secara umum dapat artikan bahwa segala kenangan masa lalu tentang perasaan cinta terhadap seseorang bisa saja muncul dan tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu akan menimbulkan perasaan gelisah, kalut rindu dan sebagainya. Secara tegas dapat ikatakan bahwa kenangan tak kan pernah bisa hilang dari diri seseorang.



Baca Juga:
Makalah tentang Kepunahan Bahasa
Makalah tentang Pembaca Karya Sastra


 jangan lupa komentarnya sob...!!!
Analisis Puisi "Slopeng Basah" karya Urip Sukamto

Rabu, 28 November 2012

Pembaca Karya Sastra

Baca juga Kata-Kata Mutiara di blog saya yang lain

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Kehadiran karya sastra ditengah-tengah masyarakat tidak pernah lepas dari peran pembaca sebagai konsumen karya sastra, tidak hanya itu, karya sastra akan benar-benar menjadi karya sastra apabila karya tersebut sampai kepada pembaca, dinikmati dan di terima sebagai karya sastra. Beda halnya bila karya sastra tersebut hanya sekedar ditulis namun tidak pernah dipublikasikan, sebagus apapun karya itu tak akan berarti apa-apa. Layaknya biola tak berdawai, selamanya takkan pernah menghasilkan nada yang indah. Untuk itu peran pembaca dalam karya sastra sangat diperlukan, bahkan bersifat mutlak. Dalam makalah ini akan dibahas secara rinci tentang Pembaca, hubungan pembaca dengan karya sastra dan sebagainya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah pembaca yang dimaksud dalam karya sastra?
2.      Bagaimana kedudukan pembaca dalam suatu karya sastra?
3.      Bagaimanakah hubungan antara sastrawan dengan pembaca?
4.      Bagaimanakah hubungan sosiologi sastra dengan pembaca?
C.    Tujuan
            Tujuan disusunnya karya ilmiah ini yaitu untuk memberikan pemahaman secara mendalam tentang hakikat pembaca karya sastra serta hubungannya dengan karya sastra itu sendiri maupun ilmu sosiologi sastra.

KAJIAN PUSTAKA

A.    Pengertian Pembaca
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI v1.1 Versi Software) Pembaca adalah 1) Orang yang membaca, 2) orang yang gemar dan berbakat membacakan (Puisi, cerita, dsb), sedangkan Pembaca kaitannya dengan sastra yaitu audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca atau publiknya, menurut Wellek dan Warren (1994)[1], seorang sastrawan tidak hanya mengikuti selera publiknya atau pelindungnya, tetapi juga dapat menciptakan publiknya. Menurutnya, banyak sastrawan yang melakukan hal tersebut, misalnya sastrawan-sastrawan Indonesia dengan ciri khasnya masing-masin
B.     Kedudukan Pembaca dalam Karya Sastra
            Pembaca memiliki peran penting dalam dunia sastra. Adanya pembaca, dunia sastra mengalami perkembangan, baik dalam produksi karya ataupun segi keilmuan. Tanpa pembaca, fungi sastra tidak memiliki perannya dalam karya. Jadi karya tanpa ada pembaca tidak lebih dari sekedar kumpulan naskah. Dewasa ini, kemunculan karya sastra semakin banyak. Beberapa media cetak, seperti koran, setiap minggu ada yang memuat karya sastra. Lahirnya karya sastra, tidak terlepas dari kepiawaian seorang penulis dalam mengeksplorasikan idenya. Keberadaan karya sastra sampai pada pembaca, tidak terlepas dari keberadaan penerbit atau media. Tujuan akhir dari penerbitan adalah mampu menjadikan karya sastra dapat dimiliki oleh pembaca yaitu masyarakat atau publik. Pembaca dapat dikatakan sebagai raja pada kegiatan produksi sastra. Dalam dunia sastra, penulis-karya- pembaca merupakan mata-rantai dalam menggerakkan perkembangan dunia sastra. Penulis merupakan titik awal dalam keberadaan karya. Karya inilah yang akan diterima oleh pembaca atau penikmat sastra.
Pembaca memiliki kebebasan dalam menganalisa suatu karya. Setiap pembaca memiliki pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda, karena teks sastra merupakan kajian interpretasi.  Beraneka macamnya pemahaman pembaca terhadap karya, diantaranya dapat terlihat dari ekspresi pembaca. Seperti pembacaan puisi, betapa bervariasinya ekspresi pembacaan puisi. Satu puisi saja memiliki variasi yang berbeda-beda, sesuai dengan pemahaman pembaca. Ada yang membaca puisi penuh emosi dan amarah dengan suara lantang, ada pula membaca dengan suara lembut menggunakan ekspresi sedih dan meneteskan air mata. Begitupun dengan genre prosa, bagaimana pembaca mendalami konflik psikologis dari tokoh dalam karya serta keadaan sosialnya. Pembaca secara tidak langsung, seolah-olah ikut dalam konflik yang terjadi. Kehadiran pembaca, membantu perkembangan ilmu sastra.
Setiap pembaca karya sastra, pada dasarnya, ia telah bertindak sebagai ‘kritikus’, karena pembaca dapat menilai apakah karya sastra yang telah dibaca itu menarik atau tidak. Walau tidak ditulis dalam format tulisan, baik ilmiah atau non ilmiah. Kedudukan Pembaca Pembaca mendapat tempat penting dalam dunia sastra. Keberadaannya memberikan sumbangsih pada perkembangan ilmu sastra. Kajian sastra tidak lagi terfokus pada teks, namun mampu merambah unsur ekstrenalnya (pembaca pengarang dan unsur-unsur sosial di dalamnya). Selain itu, pembaca merupakan ‘juri’ dalam menilai suatu karya. Bayangkan, jika tidak ada yang membaca karya sastra, fungsi sastra tidak memiliki peran pada karya.
C.    Hubungan Sastrawan dan Pembaca
            Keberadaan pengarang dan karya sastra tentunya tidak pernah lepas dari pembaca, seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa tanpa pembaca, fungi sastra tidak memiliki perannya dalam karya. Hal itu karna antara ketiganya memiliki hubungan yang tak dapat dipisahkan, hususnya hubungan antara pengarang dan pembaca dengan menjadikan karya sastra sebagai sarananya penghubungnya.
            Hubungan sastrawan dengan pembaca adalah hubungan timbal balik. Pada awal komunikasi, sastrawan berkomunikasi dengan pembacanya berangkat dari praanggapan yang sama. Dalam dunua sastra, praanggapan ini dinamakan konvensi sastra (Wahyudi Siswanto, 2008: 94)[2]. Sastrawan yang mengetahui konvensi yang sudah ada dibenak pembaca bisa mengambil sikap mengikuti dan memanfaatkan konvensi itu. Sastrawan yang mengambil sikap mengikuti konvensi bisa berangkat dari praanggapan yang sama dengan pembaca dan tetap setia untuk menghasilkan karya sastra yang sesuai dengan praanggapan tersebut.
Ada juga sastrawan yang mengambil sikap kedua, ia memanfaatkan konvensi yang sudah ada dalam pembaca untuk mempermainkannya. Sastrawan, bahkan bisa menentang konvensi dan menyodorkan sesuatu yang baru.
Pembaca sastra merupakan penerima karya sastra dengan berbagai penafsiran sesuai dengan pandangan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam hal ini terdapat hubungan interaksi komunikasi secara tidak langsung antara pengarang dan pembaca. Penulis menambahkan, Jika dikaji lebih mendalam terdapat ikatan-ikatan yang bersifat mutlak antara pengarang dan pembaca, baik dari segi psikis, spiritual dan sosiologis. Serta hubungan emosional dalam rangka mengungkap hal-hal tersebunyi didalamnya sehingga karya sastra tersebut dapat diterima dan dapat pula menunjukkan perannya di tengah-tengah masyarakat (sosial).
Bentuk penerimaan tergantung pada tingkatan pembaca. Ada pembaca sastra awam, ada pembaca sastra yang sastrawan, ada pembaca sastra kritikus, ada juga dari kalangan akademisi. Setiap pembaca mempunyai cara tersendiri dalam menerima karya sastra.
D.    Sosiologi Sastra dan Pembaca
            Konsep dasar sosiologi sastra yaitu Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan serta hubungan dwi arah antara sastra dan masyarakat (Nyoman Kutaratna)[3]
1        Klasifikasi Sosiologi Sastra

      Rene Wellek dan Austin Warren (1994) dalam (Wigi Sutrisno,2012)[4] mengklasifikasikan Sosiologi sastra menjadi tiga. Yaitu:
·         Sosiologi pengarang. Yaitu memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra, atau menjadikan latar sosial kemasyarakatan pengarang sebagai salah satu faktor yang dipergunakan untuk menilai karya sastra
·         Sosiologi karya sastra. Yaitu memasalahkan apa yang tersirat dan apa yang menjadi tujuan karya sastra
·         Sosiologi pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Yaitu memasalahkan seberapa jauh karya sastra itu memiliki pengaruh terhadap masyarakat, khususnya pembacanya, dan seberapa jauh pembaca, masyarakat itu, terpengaruh oleh karya sastra yang dibacanya.
      Pembahasan ini fokus pada poin ketiga yaitu sosiologi pembaca sekaligus pengaruh sosial karya sastra.
Di samping itu, (Watt, via Damono, 1979)[5]. Berpendapat bahwa Sosiologi Pembaca “juga mengkaji fungsi sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial”.
Dalam kajian sosiologi pembaca ini yang dipentingkan adalah reaksi dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra tertentu. Untuk melihat reaksi dan penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra perlu diperhatikan keadaan sosial budaya masyarakatnya. Hal ini karena latar belakang sosial budaya masyarakatlah yang mempengaruhi pembaca dalam menanggapi karya sastra tertentu.
2        Dampak dan fungsi sosial karya sastra
Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan dinikmati pembaca. Horatius dalam bukunya, (Ars Poetica,14 SM), dalam  (Wahyudi Siswanto, 2008: 93)[6] telah mengemukakan fungsi dan tujuan seorang penyair dalam masyarakat, yaitu “berguna dan memberi nikmat, ataupun sekaligus menyatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan”, yang dikenal dengan istilah Utile dan Dulce. Apa yang dikemukakan oleh Horatius tersebut kemudian menjadi dasar perkembangan teori pragmatik, dan resepsi sastra.
Teori pragmatik merupakan bidang kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peran pembaca. Hal ini berkaitan dengan dampak atau pun respon pembaca (masyarakat) terhadap karya sastra. Sedangkan resepsi sastra berkaitan dengan bagaimana pembaca memberikan makna serta penafsiran terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga menimbulkan reaksi terhadapnya. Baik reaksi konstruktif (apabila sastra dianggap membangun), ataupun destruktif, (apabila karya sastra dianggap bertentangan dengan prisip dirinya)

PENUTUP

A.    Simpulan
1        Pembaca (Pembaca Karya Sastra) merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca atau publiknya, menurut Wellek dan Warren (1994)
2        Pembaca memiliki kedudukan yang sangat penting dalam karya sastra. pembaca dapat dikatakan sebagai raja pada kegiatan produksi sastra. Dalam dunia sastra, penulis-karya-pembaca merupakan mata-rantai dalam menggerakkan perkembangan dunia sastra. Setiap pembaca memiliki pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda, karena teks sastra merupakan kajian interpretasi. Selain itu, pembaca merupakan ‘juri’ dalam menilai suatu karya. Bayangkan, jika tidak ada yang membaca karya sastra, fungsi sastra tidak memiliki peran pada karya.
3        Hubungan sastrawan dengan pembaca adalah hubungan timbal balik. Dalam hal ini terdapat hubungan interaksi komunikasi secara tidak langsung antara pengarang dan pembaca. bahkan Jika dikaji lebih mendalam terdapat ikatan-ikatan yang bersifat mutlak antara pengarang dan pembaca, baik dari segi psikis, spiritual dan sosiologis. Serta hubungan emosional dalam rangka mengungkap hal-hal tersebunyi didalamnya sehingga karya sastra tersebut dapat diterima dan dapat pula menunjukkan perannya di tengah-tengah masyarakat (sosial).
4        Sosiologi pembaca Yaitu memasalahkan seberapa jauh karya sastra itu memiliki pengaruh terhadap masyarakat, khususnya pembacanya, dan seberapa jauh pembaca, masyarakat itu, terpengaruh oleh karya sastra yang dibacanya.
Di samping itu, (Watt, via Damono, 1979). Berpendapat bahwa Sosiologi Pembaca “juga mengkaji fungsi sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial”.
Fungsi dan tujuan seorang penyair dalam masyarakat, yaitu “berguna dan memberi nikmat, ataupun sekaligus menyatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan”, yang dikenal dengan istilah Utile dan Dulce. Apa yang dikemukakan oleh Horatius tersebut kemudian menjadi dasar perkembangan teori pragmatik, dan resepsi sastra.
B.     Saran
            Pembaca yang baik adalah pembaca yang tidak hanya sekedar membaca. Tapi mampu mengungkap hal tersembunyi dalam karya sastra. Sehingga kemunculan karya sastra tersebut lebih bermakna serta memberikan manfaat yang bersifat membangun terhadap masyarakat secara umum.


DAFTAR PUSTAKA


Harian Haluan. Pembaca Sebagai Raja dalam Karya Sastra. Dalam situs

http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=sosiologi%20pembaca%20&source=web&cd=4&ved=0CEIQFjAD&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Fpendidikan%2FDra.%2520Wiyatmi%2C%2520M.Hum.%2FBAB%2520III.doc&ei=izWsUI_pKcrmmAXbuYHoDw&usg=AFQjCNHms7yfp9HMHMI7ynz8R-P1X53DQQ

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI v1.1 Versi Software). 2010.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.

Sutrisno, Wigi. 2012. Pendekatan Pengkajian Sastra. Dalam situs



[1](http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=sosiologi%20pembaca%20&source=web&cd=4&ved=0CEIQFjAD&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Fpendidikan%2FDra.%2520Wiyatmi%2C%2520M.Hum.%2FBAB%2520III.doc&ei=izWsUI_pKcrmmAXbuYHoDw&usg=AFQjCNHms7yfp9HMHMI7ynz8R-P1X53DQQ)

[2] Pengantar Teori Sastra, Dr. Wahyudi Siswanto, 2008
[3] (Matakuliah Sosiologi Sastra, Universitas Madura)
[4] http://wigi-sutrisno.blogspot.com/2012/01/pendekatan-pengkajian-sastra.html?m=1
[5](http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=sosiologi%20pembaca%20&source=web&cd=4&ved=0CEIQFjAD&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Fpendidikan%2FDra.%2520Wiyatmi%2C%2520M.Hum.%2FBAB%2520III.doc&ei=izWsUI_pKcrmmAXbuYHoDw&usg=AFQjCNHms7yfp9HMHMI7ynz8R-P1X53DQQ)
                [6] Pengantar Teori Sastra, Dr. Wahyudi Siswanto, 2008


Baca Juga:
Makalah tentang Kepunahan Bahasa

 jangan lupa komentarnya sob...!!!
Pembaca Karya Sastra